Kekerasan Terhadap Wanita Pada Tayangan Animasi Anak

Wanita dan perempuan merupakan terminologi yang serupa. Namun, dalam implementasinya ada beberapa pihak yang hanya menggunakan istilah wanita maupun istilah perempuan saja. Seperti Dr. Sunarto, penulis buku “Televisi, Kekerasan dan Perempuan” yang menggunakan istilah wanita saja. ”Karena saya orang Jawa maka alasan ideologis saya tentang makna wanita adalah wani ditata. Namun menurut saya bukan hanya itu saja pemaknaan wanita, wanita bisa diistilahkan juga wani nata. Sedangkan para aktivis gender lebih sering menggunakan terminologi perempuan ketimbang wanita. Hal ini dikarenakan adanya trauma pada masa orde baru yang memunculkan makna peyoratif pada wanita”. terangnya.

Diskusi sekaligus peluncuran buku ”Televisi, Kekerasan dan Perempuan” yang diadakan oleh Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro pada (3/6) di Ruang sidang utama gedung Pascasarjana Lt.1, menghadirkan Prof. Agnes Widanti, SH, CN (Dosen Unika Soegijapranata Semarang), Prahastiwi Utari, Ph.d (Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Solo), Dr. Turnomo Rahardjo (Dosen program Magister Ilmu Komunikasi program Pascasarjana Undip) dan Dr. Sunarto (Dosen program Magister Ilmu Komunikasi program Pascasarjana Undip) sebagai pembicara dengan dimoderatori oleh Dr. Hedi Pujosantoso, Msi (Dosen program Magister Ilmu Komunikasi program Pascasarjana Undip) ini membahas permasalahan kekerasan pada perempuan dalam media anak dengan lebih komprehensif.

”Mengapa mengambil text anak-anak? Karena belum banyak penelitian tentang ini, televisi merupakan media yang sangat strategis untuk membentuk ideologi anak. Salah satu topik yang sering diulas dalam gender adalah kekerasan pada wanita secara aktual. Tiap tahun pasti ada kenaikan yang berarti, meskipun masih banyak yang belum ter-cover oleh media”. jelas Soenarto.

”Kenaikan jumlah kekerasan pada wanita berarti meningkatnya kesadaran dan berani melaporkan diri, selama ini kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) sering dikaitkan dengan permasalahan kultural, tidak hanya aktual tapi juga simbolikal dan tingkatnya masif”. ujar penulis buku ”Analisis Wacana Ideologi Gender Anak-Anak” ini.

”Sedangkan saat ini kekerasan simbolikal pada wanita melalui media massa dewasa sudah jamak, berupa : limitasi peran sosial dan menjadikan wanita sebagai objek seksual”. tambahnya. Wanita belum diberi banyak opsi untuk menentukan jalannya dan tidak diwakili secara proporsional di media, misalkan saja, kebanyakan narasumber berita adalah kaum laki-laki karena merekalah yang biasanya duduk dalam jabatan formal.

Menurut Turnomo Rahardjo, buku yang ditulis oleh rekannya tersebut menginspirasi akan pentingnya pendidikan androgini dalam keluarga, sekaligus memberikan kontribusi perlunya gerakan yang lebih intensif untuk melakukan counter hegemony terhadap media yang bias gender. ”Karena saat ini kekerasan aktual maupun simbolikal berlangsung diberbagai ”ruang” seperti : KDRT, didaerah konflik, dijalan raya, media massa hingga forum keagamaan” tambahnya.

”Media massa kerap menampilkan wanita melalui pesan-pesan yang innocent pleasure, dan menawarkan citra wanita yang unreal, unthruthful dan distorted”. sambung Turnomo.

Lebih lanjut, Dr. Sunarto menambahkan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa ada kekerasan simbolik pada wanita dalam film anak-anak. Kekerasan personal, seperti psikologis (diejek, dihina, didiskriminasi, dipaksa, dan sebagainya), seksual (direndahkan seksualitasnya, disentuh, dan sebagainya), dan fungsional (dipaksa, dihalangi dalam melakukan sesuatu, dan sebagainya). ”Banyak film anak-anak yang mengandung unsur kekerasan, misalnya Doraemon, Crayon Shinchan dan Tom and Jerry” kata Soenarto.

Saran yang dapat saya berikan antara lain : stasiun televisi perlu melakukan swasensor lebih cermat terhadap tayangan animasi anak-anak yang bermuatan kekerasan personal secara umum maupun khusus terhadap wanita. Selain itu perlu dilakukan kajian-kajian lebih lanjut terhadap berbagai program televisi untuk anak-anak yang ditengarai mengandung kekerasan simbolik. Yang tak kalah pentingnya, dalam rangka menciptakan sistem sosial egalitarian sebagaimana menjadi cita-cita bersama, perlu diciptakan, ditingkatkan, diperkuat dan diberdayakan sturktur personal, institusional dan sosial melalui advokasi penyadaran gender secara kontinu dan konsisten.

Sumber : bahan materi diskusi ”Televisi, Kekerasan dan Perempuan”.

Ditulis oleh Nida dan juga dimuat di www.fisip.undip.ac.id

0 komentar: