Penyair Melihat Lebih Banyak

Bagaimana tidak, saya kini semakin mencintai puisi. Puisi yang dibacakan dengan nada ritmis, dengan atau tanpa musikalisasi yang liris.

Jumat (26/3) kemarin, ada kegiatan Peluncuran Dua Buku Puisi, Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana, dan Tuhan, Ke Mana Cinta karya Handry TM, yang berlangsung di Gedung Pers, Tri Lomba Juang, Semarang.

Acara yang (sayangnya) molor sampai 1 jam itu tidak lantas membuat saya pengin pulang. Walaupun dari semua orang di ruangan lantai II Gedung Pers, tidak saya kenal satu pun ( kecuali mas Timur Sinar Suprabana, yang saya kenal lewat FB ), ya itu mah bukan masalah. Karena saya amat pengin nonton musikalisasi puisi dan juga melihat cara mas Timur membacakan puisi yang konon kondang itu. Dan, diakhir acara baru saya tahu, yang konon itu memang benar adanya.

Ada beberapa petikan diskusi puisi ringan yang saya catat kala itu,
  1. Betapa penyair telah membaca kegelisahan-kegelisahan dan realita yang sebenarnya. Menulis apa yang dilihat, didengar, juga melangkah ke ceruk-ceruk luka kota. Maksudnya, penyair membuat karya berdasarkan fakta, karena mereka terjun langsung melihat sisi kota, melihat banyak luka. Tidak seperti halnya pemerintah yang melihat kota dari helicopter view. Mereka hanya omong kosong belaka kalau bilang kota kita baik-baik saja. BAH!!!
  2. Penyair tidak hidup dalam ruang vakum sejarah, tapi mereka hidup bersamanya.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik sore itu. Antara lain, kualitas karya saya yang bisa dibilang masih "ecek-ecek", masih harus banyak membaca KBBI juga Thesaurus. Tapi apapun karya yang sudah saya buat tidak perlu saya ralat. Saya sudah cukup senang kalau karya itu bisa membuat orang lain senang dan syukur-syukur bermanfaat. Karena, ada seorang dari Papua yang mengirimkan email dan mengucapkan terimakasih atas puisi saya yang mengangkat tema Papua, "Puisi itu sangat berarti buat saya..," begitu katanya.


Sumber foto : http://www.facebook.com/notes/beno-siang-pamungkas/poster/386684698048

8 komentar:

Slamet Riyadi 29 Maret 2010 pukul 00.43  

eh nid, itu yang gondrong siapa to? he?

aku kok rak kenal yo

nidafs 29 Maret 2010 pukul 00.45  

Itu namanya Mas Timur Sinar Suprabana..

Wis kondang yo, mas.. Sering manggung koq.

Maslie 29 Maret 2010 pukul 01.14  

Sayang Rendra sudah tiada, saya pengagum beliau

Anonim 29 Maret 2010 pukul 01.18  

setuju banget sama dua perihal yan teteh simpulkan. memang benar mereka melihat luka-luka yan ada lantas membahasakannya dalam tulisan mereka. dan satu lagi, mereka hidup bersama sejarah.
salut!

ophelia 29 Maret 2010 pukul 02.54  

saya pernah diskusi empat mata dengan mas Timur tentang kegelisahan penyair itu. :p

Nida Fauzi 30 Maret 2010 pukul 22.01  

Mas Ulie : Iya, sayangnya, aku juga belum pernah nonton Rendra tampil :-(

Arimi : Iya.. saya juga setuju setelah melihat beberapa fakta, Dan itu memang benar...

Mas Topan : Nggak ngajak2.. huuuu :-(

el afiq 8 April 2010 pukul 10.59  

saya masih belum ngerti soal sastra.. :D

Nida Fauzi 8 April 2010 pukul 22.31  

*MAs Afiq : Sama atuh.. :D