Seharusnya tak perlu seperti itu. Karena hanya akan membuat aku kalang kabut sendirian. Mendengar namanya disebut saja sudah membuat telapak tanganku basah oleh keringat. Intinya aku terlalu takut membukanya lagi. Jadi akan lebih baik jika aku pergi sendiri saja.

* Mensugesti diri sendiri bahwa semuanya akan baik saja :-)

Betah berlama di Kota Lama

Excellent!!

* Sayangnya cuma satu, Kurang terawat. Ditambah kawasan ini sering terendam air pasang, juga banyaknya bangunan yang dibiarkan mangkrak begitu saja dan dijadikan gudang. Padahal bangunan – bangunan itu masih kokoh berdiri semenjak beberapa dekade silam.

Kota lama terlalu sering dibiarkan sepi, dan jika malam dijadikan tempat ini remang – remang dan tempat bagi kupu – kupu malam menjajakan diri. Bisakah event yang lebih elegan dihelat disini? Kenapa tempat ini tidak dijadikan situs pariwisata, seperti halnya kota tua Jakarta. Kota lama Semarang pun tak kalah pamor sebenarnya. Entahlah, setiap kali kesana, hanya ada sepi. Ditemani aktivitas warga yang lalu lalang dan pengunjung yang mengabadikan kenangan.

Sekarang ada Semarang Art Gallery yang secara berkala diadakan di Kota Lama, setidaknya ada nafas baru disini, menyegarkan.

Mungkin pemerintah kota tak perlu muluk – muluk mencanangkan kegiatan. Toh juga menuai kontra warga kota karena perubahan tidak sebesar visi – misi yang kencang digembar – gemborkan.
Sebaliknya, ada kelompok atau komunitas tertentu yang hidup secara diam dan perlahan, berusaha menghidupkan kembali. Mencoba menumbuhkan semangat baru disini. Tanpa banyak bicara kesana – kemari.


Akankah lebih baik jika segelintir komunitas yang memegang kendali?

Saya dianggap sahabat atau tidak???

Hufh ::
Kisah baru siang ini setelah beberapa hari ga berkunjung ke kampus. Hari ini ijin magang buat ngurusin KHS, juga laporan KKP. KHS lancar setelah dapat beberapa saran dari bapak wali, tapi laporan KKP gagal karena ga ketemu mas Agus. Cuma beliau janjian besok jam 12.00 siang di jurusan, Alhamdulilah :-)


Saya dapat cerita ini setelah sharing sama seorang sahabat, kita ngobrol cukup lama. Dari obrolan yang ada, terbetik satu yang agak mengganggu hati. Apakah si Dia bersahabat dengan saya hanya untuk bagian - bagian sedih dalam hidupnya saja? Sedangkan bagian indah di simpan atau bagi dengan sahabat yang mungkin satu level dengannya. Saya memang bukan tipe sahabat yang selalu up date dengan masalah duniawi, saya cukup kuper, tapi bukan berarti saya juga katak dalam tempurung. Saya hanya ingin dihargai selayaknya seorang sahabat yang saling berbagi kesedihan juga kebahagiaan. Karena saya pun akan berbahagia jika Dia bahagia,bukan? Saya sudah merasakan hal yang sama tahun 2006 lalu. Tapi kesibukan UAN membuat saya lupa tentang persahabatan itu beberapa waktu.
Sambil naik motor saya memikirkan itu? Apa memang begitu adanya, sehingga saya diperlakukan seperti ini? Apakah saya perlu berbincang dua mata dengan si Dia agar ga ada yang saling menikam dibelakang?

Entahlah, semakin dewasa, saya kira semakin individual saja.
Hanya kadang, kita sharing bersama, karena saya akan merawat persahabatan ini. Persahabatan yang saya jarang miliki.

Jalan - jalan sore..

Saya melihatnya sedang berduaan. Dipojok warung Jl. dr. Cipto yang menjual makanan dan minuman ringan, tempat bersinggah bagi penumpang bis. Tubuhnya renta, tapi kerentaan itu tak mengurangi nilai yang saya lihat, meskipun hanya sepintas lalu.

*Ada yang saya lihat dan sampai sekarang membekas.*

Mereka sedang berpegangan tangan sambil tersenyum satu sama lain.

Sore hari saat hujan

Hari sudah mulai gelap, tapi mengapa dia duduk disana? Dibawah rimbun pepohonan, sedangkan terlihat langit akan hujan..
Dia tampaknya tak punya rumah atau sanak saudara.
Buktinya dia membawa kantung yang besar, sarat akan barang.

Hari semakin gelap. Tak surut niatnya walau rintikan air tajam menghujam kulit, perih sesaat hingga meninggalkan ruam merah. Masih saja dia terduduk, tergugu di bawah rindangnya pepohonan. Namun kini sudah berbalut mantel berwarna biru.

Ya, dia hanya seorang diri. Ditemani bungkusan dan beberapa kantung plastik kumuh.

Kepalanya kini tertunduk, bukan karena malu dengan tatapan pengendara yang lalu lalang. Tapi menghindari belas kasihan, air matanya tampak menggenang. Karena seharusnya dia ada dirumah. Yang akan hangat saat hujan tiba, duduk bersama istri atau keluarga. Karena pernikahannya dengan istri mataharinya tak jua dikaruniai keturunan. Hingga sang istri mataharinya berpulang, dia kehilangan arah. Tak ada lagi tempat berpulang setelah seharian berpeluh ditengah onggokan sampah Jatibarang. Yang akan menerima berapapun rupiah hari itu. Yang berusaha tersenyum cerah menghangatkan saat hari itu tak ada rupiah dihasilkan. Yang setia menemani ditengah gubug reyot, dindingnya bertambalkan plastik terpal..sama sekali tak ada keluhan terdengar.

Hujan semakin menderas, dia tak bergeming, walau hanya berkawan mantel biru.

** Sama persis dengan kakek tua yang kulihat kemarin sore usai pulang KP di jalan Teuku Umar, Semarang

Budaya Indonesia

Suku Dani di Papua memang unik. Hal ini yang menjadi catatan harian reporter koran harian Jawa Pos selama dua hari berkunjung ke Wamena dan Timika. Udah 4 hari ini Jawa Pos memuat kisahnya. Awalnya saya kurang aware terhadap tulisan ini. Tapi saya pikir saya rugi kalau berita itu tidak saya baca.

Papua pernah dijuluki sebagai museum hidup oleh para antropolog. Sebelum tahun 1970-an, pemerintah membebaskan para peneliti yang ingin meneliti Papua, tapi setelah itu sempat beberapa kali dilarang karena ada anak orang terkaya di dunia hilang disana dan juga kasus Antropolog asal Amerika Serikat yang melakukan penelitian, hingga demi keakuratan penelitiannya itu dia sampai menikah dengan Obahorok, ketua Suku Dani waktu itu. Padahal kepala suku disana lazim menikah dengan beberapa wanita sekaligus atau biasa disebut Poligini. Keluar sedikit dari pembahasan, kita tahu bahwa masyarakat sudah terbiasa menyebut pria beristri lebih dari satu dengan ungkapan Poligami, sejatinya Poligami adalah menikah dengan lebih dari satu pasangan. Sebutan bagi pria yang menikahi lebih dari satu wanita adalah Poligini. Masih ada lanjutannya. Poligini Sororat adalah pria yang menikahi beberapa wanita yang kesemuanya adalah saudara ( pertalian darah ). Sedangkan Poligini Non-Sororat adalah pria yang menikahi beberapa wanita yang tidak ada hubungan pertalian darah. Berbeda dengan poliandri, ini adalah sebutan bagi wanita yang menikah dengan beberapa pria.

Kembali ke bahasan Obahorok, Si kepala suku Dani. Pesta pernikahan mereka ( Obahorok dengan sang Antropolog ) dipestakan selama 10 hari 10 malam, dan menyembelih banyak sekali babi untuk hidangan pesta mereka. Tidak dapat dipastikan bahwa pasangan beda ras tersebut melangsungkan malam pertama mereka dimana, yang pasti sang Antropolog melebur bersama istri – istri Obahorok lainnya, seperti pergi ke ladang dan bertelanjang dada juga memakai honai. Namun, umur perkawinan mereka tak berlangsung lama, karena 2 bulan kemudian sang antropolog menghilang, yang kabarnya diketahui kembali lagi ke negaranya. Dan pada tahun 1974, dia merilis bukunya yang berjudul ”People of The Valley”. Sejak itu dia tidak memperoleh ijin untuk memasuki wilayah Indonesia dan kabar Obahorok pun menghilang begitu saja.

Mata pelajaran Antropologi dan Sosiologi yang saya dapat saat duduk di bangku SMA sangat membantu saya dalam ketertarikan terhadap bahasan masalah budaya Indonesia. Guru Antropologi saya, Pak Azhari sering menceritakan hal – hal yang bagi saya waktu itu terdengar amat unik dan amazing. Walaupun bahasannya masih dangkal namun membantu itu cukup membantu untuk pemahaman dasar hal – ihwal budaya nasional.

Seperti ini misalnya : Kenapa bahasa daerah Sumatra ( Batak dan Dayak atau Borneo ) amat berbeda dengan bahasa suku – suku di Jawa?
Beliau menceritakan dengan sub-bahasan, Linguistik.
Kenapa bisa begitu? Jadi nenek moyang yang kini ada di Borneo dan Batak itu termasuk Proto Melayu atau Melayu Tua, sedangkan nenek moyang yang ada di Jawa termasuk Deutro Melayu. Rentang masuk antara Proto dan Deutro bisa dikatakan cukup jauh, sehingga bahasa yang tercipta pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Senang juga rasanya mengamati persamaan dan perbedaan bahasa suku – suku di Indonesia.

• Sumber Inspirasi : Harian Jawa Pos, 10 Februari – 13 Februari 2009.
• Mata Pelajaran Sosiologi dan Antropologi tahun 2005 – 2006.

Saya sayang mereka semua...

Sayang bukan karena nafsu dunia. Saya mencintai semua karena Allah. Karena Allah-lah yang mempersatukan kami, membuat jalinan istimewa dihati, sehingga mendorong kami untuk mampu bertahan melewati hari dengan penuh kesyukuran. Tidak mendorong kami hanya demi meraih kesenangan duniawi tapi juga akhirat.

Terimakasih tak hingga bagi Dia. Allah Azza Wa Jalla.

Yang membuat pertemuan kami berlangsung hingga detik ini. Membantu saya melewati masa dan dunia yang kini semakin tua. Bertahan dari gempuran kemodernan sehingga saya mampu menjadi diri saya, dengan apa yang saya yakini dan inshaallah akan saya bawa hingga nanti. Saya tidak memerlukan dunia dan seisinya untuk mampu memenangkan hati manusia. Yang saya inginkan hanyalah ridha-Nya semata. Untuk apa saya membawa dunia jika kelak Sang Rabb mengacuhkan dan tidak membawa saya kedalam barisan hamba-hambanya yang bersyukur???

Dunia tidak lagi berharga.

Karena yang saya inginkan adalah menjadi sederhana, dengan segala macam pemikiran dan kemewahan yang ada didalamnya. Untuk apa segalanya jika tidak mampu membawa kami semua menuju JannahNya??

Karena saya menyayangi kalian semua dan berharap apa yang sudah ada dihati mampu membawa kita semua menuju kebahagian yang hakiki.

Tak usah pedulikan apa kata Dunia, sekalipun itu menyakiti hatimu :-)

Berdebat dan Berbantahan

Ada hari ketika saya lebih memilih untuk diam. Memikirkan berulang kali kalimat apa yang akan saya tuangkan. Mengalahkan hati untuk memenangkan logika, bahwa apakah kata - kata yang saya tuangkan nantinya akan membuat si pendengar tersakiti atau tidak?

Ya, sekalipun saya yakin bahwa ini benar dan dia salah. Namun agaknya prinsip seperti itu sudah lama berlalu dan saatnya bagi saya untuk menghapus segala macam perbantahan, sekalipun itu dirasa perlu.
Dalam buku Cerdas dan diCintai ( Dr.Akram Ridha ) disebutkan bahwa perdebatan adalah setiap penyanggahan atas perkataan lawan bicara dengan menampakkan kecacatannya. Adapun perbantahan mempunyai pengertian yang hampir sama dengan perdebatan, yaitu merendahkan perkataan orang lain dan melemahkan dengan cara menjelekkan pembicaraannya dan mengaitkannya dengan kekurangan dan kebodohannya. Karena ada dua yang mendorong kita, manusia untuk melakukan hal tersebut :

(1). Nafsu untuk menampakkan ilmu dan keutamaannya --> Sombong dan Ujub.
(2). Nafsu ingin menampakkan kekurangan orang lain --> Marah dan Permusuhan.

Sangat sulit rupanya menjaga etika lisan ketika berbicara, sehingga seringkali demi posisi diatas angin, kita mencederai hati - hati yang ada disekitar kita. Dan etika lisan dapat kita raih dengan menjaga lisan kita dari segala bentuk perbantahan, sekalipun kita dalam posisi mutlak.

Kita memiliki dua telinga dan satu mulut. Seyogyanya, kita lebih baik mendengarkan dan meninggalkan perbantahan dan pembicaraan yang kurang bermanfaat.