Facebook Sebagai Media Kampanye Pilpres 2009

*Sumber gambar : mikekono.files.wordpress.com

Pasangan SBY-Boediono menjadi capres-cawapres paling diminati oleh para Facebook-ers rupanya. Ini terbukti dengan hasil polling Pilpres 2009 di Facebook, pasangan tersebut lebih unggul ketimbang dua pasangan lainnya. ”Penggunaan Facebook sebagai media kampanye sah-sah saja digunakan karena pemakai Facebook juga pemilih potensial, walaupun suara yang masuk belum dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya”. papar Djoko Setyabudi, pengajar Komunikasi Pemasaran FISIP Undip saat ditemui, Jumat (12/6).

Menurut Djoko, dukungan bagi pasangan capres-cawapres melalui support group di Facebook bisa saja tidak diberikan secara jujur oleh pemilih, karena ada dorongan suasana hati dan dilakukan secara spontan. “Masih mungkin pilihan mereka akan berubah setelah mengikuti perkembangan Pilpres selanjutnya.” tambahnya.

Meskipun pasangan nomor urut dua tersebut meraih suara unggul dibandingkan kandidat lainnya, menurut Djoko hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan resmi. Karena Pilpres 2009 baru akan diadakan awal Juli mendatang, sehingga masih dimungkinkan adanya perkembangan suara. ”Lebih baik jika kita mendengarkan hasil polling lainnya dan biasanya polling yang sesuai adalah polling menjelang Pemilu Presiden 2009 nanti.” papar Djoko.


*Ditulis oleh Nida. Dan dimuat juga di www.fisip.undip.ac.id

"Cinta Yang Hakiki Tidak Menyesatkan..."

Cinta tidak dilarang, namun akan ada saatnya nanti bagi cinta berkembang. Cinta harus mempunyai arah dan tujuan yang pasti, cinta yang positif akan mendorong diri senantiasa berbuat baik untuk masa depan dan cinta yang hakiki tidak akan menyesatkan. Forum Keluarga Mahasiswa Muslim (FKMM) Rohis FISIP Undip pada Minggu (7/6) mengadakan bedah buku ”Karena Cinta Harus Memilih” di ruang B.101 FISIP Undip. Menghadirkan Ustadz Burhan Sodiq, sang penulis buku dan Endang Sri Indarwati, dosen Fakultas Psikologi Undip.

Wajar ketika manusia, apalagi seusia remaja dan dewasa mengalami fase jatuh cinta. Karena itu sudah menjadi fitrahnya. Namun cinta yang tumbuh itu harus dibingkai dalam aturan syariat yang syar’i agar tidak jatuh kedalam kemaksiatan dan perbuatan negatif. Media massa, terutama televisi setidaknya ikut andil dalam proses pendewasaan remaja saat ini. ”Program-program yang ditayangkan turut mempengaruhi perilaku dan pemahaman sehari-hari. Misalnya saja, istilah pacaran, dalam perjalanannya istilah ini kemudian menjurus pada taraf penjajakan hingga eksploitasi,’ ujar Iin, panggilan akrab Endang. ”Ketika satu hubungan tidak digunakan secara positif maka akan jadi bumerang bagi diri kita sendiri,” tambahnya.

Lantas bagaimana ketika cinta menyapa disaat masa studi belum usai? ”Banyak menempa diri dengan mengkaji agama Islam, bergaul dengan komunitas yang positif, dan jangan sekali-kali menganggap bahwa cinta harus diwujudkan dengan pacaran,” jelas Iin dan diamini oleh Ustadz Sodiq. ”Kita harus fokus pada studi yang kita tempuh dan kuncinya adalah menguasai diri juga fokus, jangan disambi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Karena akan ada masanya bagi kita jatuh cinta. Allah tidak akan menyiakan hamba-Nya,” kata Ustadz Sodiq.

Lantas bagaimanakah cinta yang dihalalkan dan insyaallah bernilai keberkahan didalamnya? Jawabnya adalah pernikahan. Ada opsi seperti ini : Mencintai orang yang kita nikahi itu wajib hukumnya, dan menikahi orang yang kita cintai itu opsional.

Jangan biarkan masa depan kita hancur hanya karena meletakkan cinta di koridor yang salah. Semoga Allah selalu senantiasa menjaga kita dari apa-apa yang batil dan tidak bermanfaat. Afwan sebelumnya jika ada yang kurang berkenan, saya pun sedang berusaha menata hati dari koridor yang bukan seharusnya. Semoga Allah selalu menjaga. Amin :-)


*menuju perjalanan yang diridhoi oleh-Nya*

Berujung Hamdalah-kah (juga)?

Membaca buku kecil tapi berbeban dunia akhirat itu membuat saya semakin merasa bersalah. Bukan apa muatan buku itu hingga saya merasa demikian. Karena apa yang dituliskan benar adanya. Dan kesalahan ada pada diri saya. Alih-alih belajar sambil berikhtiar, saya malah jadi kepikiran. Jalan apa yang harus saya tempuh? Karena buku itu mensyaratkan sesuatu yang saya sudah bisa penuhi. Ah, entahlah. Saya akan terus menamatkan buku itu hingga seri terakhirnya. Apapun ilmu yang saya dapat biarlah menjadi bekal saya meraih ridho-NYA.

Semarang, Mula Juni 2009

Humas RS OMNI mati kutu

Yaaa..ketemu masalah yang real setelah berkutat dengan teorinya saja. Selama ini dalam perkuliahan, dosen di jurusan mengajarkan step-step menangani issue, membuat kebijakan publik yang populis, hingga ke hal yang remeh tapi krusial.


Kali ini masalah humas RS OMNI yang langsung main tangkap, main penjara segala hanya karena keluhan dari seorang konsumen jasa mereka (pembredelan opinikah ini?). Halooo...wajar bukan jika ada seorang konsumen yang merasa kurang puas maka dia akan menuliskan keluhannya di media massa? Setiap hari bisa kita temui di berbagai media massa, baik cetak, elektronik yang memuat berbagai keluhan. Toh jalan keluar (biasanya) dari perusahaan atau nstitusi yang bersangkutan akan memberikan jawabannya dengan baik-baik. Atau bahkan memberikan gift sebagai tanda terima kasih atas keluhan yang disampaikan. Bisa diartikan keluhan itu sebagai kritik supaya institusi, perusahaan yang bersangkutan supaya meningkatkan kualitas mereka dikemudian hari. Itu semua juga untuk kepentingan perusahaan atau institusi mereka nantinya. Jika Humas RS OMNI mengetahui step-step yang benar maka dia akan membuat semacam riset atas issue ini dan berpikir jangka panjang.

Publik itu penting lho?

Konsumen adalah raja yang harus dilayani. Lihat saja nasib RS OMNI (terutama humasnya) jika tidak menangani krisis kepercayaan publik ini dengan baik. Masalahnya, berita ini menggelinding, meluas sampai capres yang mau berkampanye itu turun tangan dan bersimpati. Media massa, baik cetak, elektronik nasional mengulasnya, bahkan menjadi headline mereka.

Mengembalikan kepercayaan publik bukan hal yang mudah!


Kekerasan Terhadap Wanita Pada Tayangan Animasi Anak

Wanita dan perempuan merupakan terminologi yang serupa. Namun, dalam implementasinya ada beberapa pihak yang hanya menggunakan istilah wanita maupun istilah perempuan saja. Seperti Dr. Sunarto, penulis buku “Televisi, Kekerasan dan Perempuan” yang menggunakan istilah wanita saja. ”Karena saya orang Jawa maka alasan ideologis saya tentang makna wanita adalah wani ditata. Namun menurut saya bukan hanya itu saja pemaknaan wanita, wanita bisa diistilahkan juga wani nata. Sedangkan para aktivis gender lebih sering menggunakan terminologi perempuan ketimbang wanita. Hal ini dikarenakan adanya trauma pada masa orde baru yang memunculkan makna peyoratif pada wanita”. terangnya.

Diskusi sekaligus peluncuran buku ”Televisi, Kekerasan dan Perempuan” yang diadakan oleh Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro pada (3/6) di Ruang sidang utama gedung Pascasarjana Lt.1, menghadirkan Prof. Agnes Widanti, SH, CN (Dosen Unika Soegijapranata Semarang), Prahastiwi Utari, Ph.d (Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Solo), Dr. Turnomo Rahardjo (Dosen program Magister Ilmu Komunikasi program Pascasarjana Undip) dan Dr. Sunarto (Dosen program Magister Ilmu Komunikasi program Pascasarjana Undip) sebagai pembicara dengan dimoderatori oleh Dr. Hedi Pujosantoso, Msi (Dosen program Magister Ilmu Komunikasi program Pascasarjana Undip) ini membahas permasalahan kekerasan pada perempuan dalam media anak dengan lebih komprehensif.

”Mengapa mengambil text anak-anak? Karena belum banyak penelitian tentang ini, televisi merupakan media yang sangat strategis untuk membentuk ideologi anak. Salah satu topik yang sering diulas dalam gender adalah kekerasan pada wanita secara aktual. Tiap tahun pasti ada kenaikan yang berarti, meskipun masih banyak yang belum ter-cover oleh media”. jelas Soenarto.

”Kenaikan jumlah kekerasan pada wanita berarti meningkatnya kesadaran dan berani melaporkan diri, selama ini kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) sering dikaitkan dengan permasalahan kultural, tidak hanya aktual tapi juga simbolikal dan tingkatnya masif”. ujar penulis buku ”Analisis Wacana Ideologi Gender Anak-Anak” ini.

”Sedangkan saat ini kekerasan simbolikal pada wanita melalui media massa dewasa sudah jamak, berupa : limitasi peran sosial dan menjadikan wanita sebagai objek seksual”. tambahnya. Wanita belum diberi banyak opsi untuk menentukan jalannya dan tidak diwakili secara proporsional di media, misalkan saja, kebanyakan narasumber berita adalah kaum laki-laki karena merekalah yang biasanya duduk dalam jabatan formal.

Menurut Turnomo Rahardjo, buku yang ditulis oleh rekannya tersebut menginspirasi akan pentingnya pendidikan androgini dalam keluarga, sekaligus memberikan kontribusi perlunya gerakan yang lebih intensif untuk melakukan counter hegemony terhadap media yang bias gender. ”Karena saat ini kekerasan aktual maupun simbolikal berlangsung diberbagai ”ruang” seperti : KDRT, didaerah konflik, dijalan raya, media massa hingga forum keagamaan” tambahnya.

”Media massa kerap menampilkan wanita melalui pesan-pesan yang innocent pleasure, dan menawarkan citra wanita yang unreal, unthruthful dan distorted”. sambung Turnomo.

Lebih lanjut, Dr. Sunarto menambahkan bahwa hasil penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa ada kekerasan simbolik pada wanita dalam film anak-anak. Kekerasan personal, seperti psikologis (diejek, dihina, didiskriminasi, dipaksa, dan sebagainya), seksual (direndahkan seksualitasnya, disentuh, dan sebagainya), dan fungsional (dipaksa, dihalangi dalam melakukan sesuatu, dan sebagainya). ”Banyak film anak-anak yang mengandung unsur kekerasan, misalnya Doraemon, Crayon Shinchan dan Tom and Jerry” kata Soenarto.

Saran yang dapat saya berikan antara lain : stasiun televisi perlu melakukan swasensor lebih cermat terhadap tayangan animasi anak-anak yang bermuatan kekerasan personal secara umum maupun khusus terhadap wanita. Selain itu perlu dilakukan kajian-kajian lebih lanjut terhadap berbagai program televisi untuk anak-anak yang ditengarai mengandung kekerasan simbolik. Yang tak kalah pentingnya, dalam rangka menciptakan sistem sosial egalitarian sebagaimana menjadi cita-cita bersama, perlu diciptakan, ditingkatkan, diperkuat dan diberdayakan sturktur personal, institusional dan sosial melalui advokasi penyadaran gender secara kontinu dan konsisten.

Sumber : bahan materi diskusi ”Televisi, Kekerasan dan Perempuan”.

Ditulis oleh Nida dan juga dimuat di www.fisip.undip.ac.id