Semoga Hari Ini (Tidak) Hujan



Saya menikmati datangnya musim hujan. Apakah kamu juga? (^_^)

Diawali dengan do'a, "Allahumma Sayyiban Naafi'an" agar air yang turun membawa berkah bagi bumi seisinya. Walau hari ini Semarang galak banget, saya tetep keukeuh nyari lagu dengan kata *RAIN*. Saya dapet beberapa, diantaranya :
  1. James Morrison - Please Don't Stop The Rain
  2. Kim Tae Woo - Love Rain
  3. Enya - A Day Without Rain
  4. Phill Collins - Wish It Would Rain
  5. The Corrs - Rainy Day
  6. X-Japan - Endless Rain
  7. Mariah Carey - Trough The Rain
Jadi, sekarang waktunya dengerin satu-satu lagu diatas (^_^). Playlist terisi penuh oleh hujan..

Enjoy This.

ps : sedang bedmud akut. sindrom merasa kalah walopun belum maju perang.

the concept of family in my eyes

There is no special answer the simple question above. Family is the blood of people with us. Father, mother, sister, brother, and so on. For the scope of the absurd, the family is the people we love and love us. Having an intact family is a blessing that is often missing from our sense of gratitude. Perhaps I am including the one inside.

Saturday (20 / 2), I was watching Ceriwis Pagi Manis on Trans TV. Are not deliberately, I moved the channel. It was at 9.55, meaning the show would've done. There is another Panda rated birthday surprised by Pampam, Ruben, also Bekti. She was taken to the pound toddler who did not have a family. Panda celebrated with a box of birthday cake candles in the home also was. Panda was crying because she remembering her family. He was grateful still have a family, because he had seen those kids dont have that opportunity.

i felt .. Deggggggggg!

ALLAH! I still have mom, father, faisal. Intact. Was complete. Although sometimes, I had negative thinking and less grateful. I know maybe my parents loves me, girls only in a different way. I am grateful, ALLAH SWT reminds me by hands of others. I realized that so many people outside there wasn't lucky as me.

And so that day I feel like this heart felt relieved.

Semarang, End of February 2010.

Desa Mati di Morosari, Demak

Ada desa yang harus tenggelam dan seluruh penduduknya harus dipindahkan ke daerah lain karena terkena abrasi. Dengan waktu tempuh sekitar 1jam dari Semarang. Tepatnya di daerah Morosari, Tambaksari, kabupaten Demak, Jawa Tengah. Desa itu sudah ditinggalkan hampir seluruh penghuninya, dan hanya beberapa kepala keluarga (KK) yang masih bertahan.

Daerah Tambaksari kini dijadikan kawasan konservasi burung yang didominasi oleh Avicennia digarda depan. Dari kejauhan sudah terdengar keramaian kicauan burung berwarna dominan putih. berkepala kuning seperti kepodang, dan bertungkai jenjang mirip bangau.

Sayangnya, akses jalan menuju daerah Tambaksari cukup sulit. Dari lokasi parkir, kita harus berjalan kaki sekitar 1km melewati pematang ditengah lautan, walaupun sebenarnya menuju ”pulau” Tambaksari bisa ditempuh dengan roda dua, namun agaknya cukup ngeri karena jalannya sempit dan berbatu.

Memasuki ”pulau” Tambaksari seperti memasuki ”The Lost World”, dimana manusia menjadi marginal ditengah dominasi vegetasi Avicennia dan ekosistem burung berkepala kuning, berbulu putih. Nafas agak sedikit sesak karena aroma air laut yang menyengat bercampur dengan kotoran burung dimana-mana. Hanya ada jalan setapak disana, yang dikanan-kirinya rimbun oleh Avicennia. Dari sela-sela pepohonan, bisa terlihat sarang-sarang burung yang hilir mudik terbang dan bekas rumah-rumah tua yang setengah terendam air laut. Hanya tersisa rumah berpenghuni yang ditinggikan hingga menyerupai rumah panggung untuk menghindari air pasang.

Masih tersisa satu mushala disini. Memasuki mushala tua yang ditinggikan ini harus dengan merundukkan kepala. Disisi mushala kita bisa duduk santai dan melihat aktivitas burung dengan jelas. Oya, satu hal yang dilarang adalah menembak atau melukai burung-burung yang ada disana. Karena dari awalpun, Tambaksari adalah area konservasi burung yang digagas oleh salah satu LSM asal Jepang. Daerah ini sengaja direhabilitasi, selain untuk pencegahan keganasan abrasi juga sebagai area transit burung yang sedang bermigrasi.

Ujung daerah Tambaksari adalah area pemakaman ditengah lautan. Beberapa makam yang terselamatkan dari abrasi ini sengaja ditinggikan. Akses bagi peziarah hanya jembatan bambu dan jembatan kayu yang ditopang cor beton. Saat kami kesana, ada beberapa anak SMA yang sudah duduk dibawah Avicennia menghadap ke lautan lepas.

Sebenarnya daerah ini punya pemandangan yang indah, tapi saya nggak tega buat berkunjung lagi kesana. Saat hendak pulang, saya dan rombongan KeSEMaT shalat dhuhur dulu di mushala yang hampir rusak. Jamaahnya selain kami, ada beberapa pemuda dan lansia nelayan. Di bagian jamaah wanita, ada seorang nenek yang hendak shalat. Saya menyalaminya, dan beliau bertanya dalam bahasa Jawa halus yang kira-kira begini : Darimana,nduk?.
Saya menjawab sebisanya : Saya dari Semarang,Bu. Kesini sama teman-teman.

Yang membuat saya terbayang-bayang adalah sorot mata si Nenek yang kelihatannya senang melihat orang datang ke tempat tinggalnya. Mungkin karena dulunya, si Nenek juga sempat merasakan hidup bertetangga, tetapi karena abrasi, semuanya pun pindah. Sekarang, daerah Tambaksari lebih mirip pulau mati, menurut saya.

Kesadaran Berwawasan Lingkungan

Banjir dan rob menerjang kawasan Semarang dan sekitarnya, terutama kawasan pesisir, tentu bukan hal yang asing bagi kita. Sudah sedari jaman penjajahan Belanda usaha pengendalian terhadap banjir dan rob dilakukan. Mulai dari meninggikan badan jalan hingga pengerukan sungai. Namun berbilang tahun dan berganti pula tampuk kepemimpinan belum menjadikan adanya perubahan yang berarti terhadap kondisi mengenaskan tersebut.

Dituliskan oleh Moh.Anhar (dalam Suara Merdeka, 28 Desember 2009) bahwa, ”Banjir dan rob sepanjang tahun 2009 masih menjadi tema yang ”ngangkat” untuk dibicarakan dalam mengupas perkembangan Kota Semarang.” Memang Kota Semarang identik dengan kata banjir dan rob karena memang letaknya yang lebih rendah dari laut, sehingga derita akibat banjir dan rob menjadi makanan sehari-hari warga yang bermukim didaerah tersebut.

Penanggulangan sudah pernah dilakukan oleh Pemkot maupun lembaga yang peduli dengan kondisi ini. Untuk program pengendalian banjir, Pemkot sudah merealisasikan paket pembangunan Waduk Jatibarang, normalisasi Kaligarang-Banjirkanal Barat, normalisasi Kali Semarang-Kali Asin-Kali Baru yang menelan toal dana Rp 1,7 triliun. (dalam Suara Merdeka, 28 Januari 2010)

Pertanyaannya adalah sudah efektifkah dana sebesar itu menanggulangi bencana banjir juga rob di Kota Semarang? Mungkin tanpa perlu pemberitaan bombastis pun kita sudah dapat melihat keadaan dilapangan. Banjir bandang yang menerjang Kampung Tapak, Kelurahan tugurejo, Kecamatan Tugu, Rabu (27/1) lalu menjadi salah satu buktinya.

Akibatnya warga harus menanggung kerugian sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta lantaran budidaya tambaknya hanyut diterjang banjir. Belum lagi kerugian akibat rumah yang tak luput terendam air.Ditengarai banjir dadakan tersebut terjadi karena perubahan alur sungai akibat pendirian sebuah perusahaan. Dan hal tersebut menjadi satu dari sekian penyebab banjir dan rob.

Menggeliatnya iklim industri dan perekonomian mau tak mau memaksa berubahnya tatanan kota maupun desa. Modernisasi merangsek hingga ke pelosok. Menjamurnya pabrik di wilayah suburban menjadi hal jamak. Namun seringkali modernisasi tak dibarengi dengan pembangunan berwawasan lingkungan.

Proses pembangunan berwawasan lingkungan ini, harus pula mempertimbangkan kemungkinan kerusakan yang terjadi. Selanjutnya, mesti ditimbang dan dinilai pula, akan manfaat dan untung ruginya sebelum kemudian diputuskan dengan penuh tanggung jawab, kepada generasi mendatang. (http://www.kesemat.blogspot.com/)

Yang tidak kalah krusial adalah kesadaran masing-masing individu akan pentingnya lingkungan. Seringkali budaya yang mengakar pada kita kebanyakan adalah sungai itu tempat sampah raksasa. Tidak hanya sungai, got maupun gorong-gorong di Kota Semarang bisa dilihat penuh dengan sampah. Bila hujan turun, beberapa ruas jalan akan tergenang air. Sungguh tidak sedap dipandang!.

Serupa dengan banjir, rob yang menjadi bagian kehidupan masyarakat Semarang pesisir adalah akibat dari keserakahan tangan manusia sendiri. Pada tahun 90-an misalnya, di daerah Tugu, banyak terjadi pereklamasian lahan mangrove sebagai area pertambakan. Setelah tambak tidak produktif, lahannya kemudian ditinggalkan. Dan hasilnya bisa kita lihat satu dekade kemudian. Abrasi terjadi di kawasan pesisir utara Semarang. Rob pun menerjang dan mulai terasa dampak akibat peningkatan suhu.

Kondisi tersebut diperparah dengan pembangunan pabrik, restoran yang ingin menampilkan eksotisme pantai, namun harus mengorbankan alam ditambah dengan rendahnya kesadaran peduli lingkungan dari masyarakat itu sendiri. Lahan mangrove produktif ditebangi. Mangrove dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tanin dan pewarna.

Melihat kondisi seperti ini, beberapa institusi mencoba menggalakkan kesadaran akan pentingnya ekosistem mangrove. Penanaman ribuan bibit mangrove pun telah dilakukan berkali-kali.

Namun yang seringkali terjadi adalah bibit itu mati karena tidak adanya sinkronisasi pemahaman antar institusi dan ketidakpahaman masyarakat sekitar pesisir akan daya guna ekosistem mangrove. Membuang urugan sungai ke atas bibit-bibit mangrove, reklamasi pesisir sebagai lahan usaha, penebangan magrove telah menjadikan usaha rehabilitasi lingkungan menjadi sia-sia belaka.

Rob dan abrasi tidak hanya berdampak pada lingkungan hidup, namun juga pada sisi kesehatan masyarakat, hilangnya mata pencaharian warga sekitar, kerugian materiil, terganggunya sistem pendidikan, bertambahnya anggaran Pemkot untuk upaya penaggulangan bencana, dan sebagainya.

Maka alangkah arifnya bila Pemkot tidak hanya sekedar menggelontorkan uang namun lepas tangan pada langkah dasarnya. Perlu adanya regulasi dan tatanan yang jelas tentang pembangunan berwawasan lingkungan serta mendayagunakan masyarakat di daerah rawan banjir maupun rob.

Proses terpenting dalam pemberdayaan masyarakat adalah membangun pondasi sosial. Meningkatnya kemampuan masyarakat sebagai pelaku pengelolaan lingkungan dan peningkatan partisipasi masyarakat adalah salah satu hal yang sekiranya perlu dilirik oleh Pemkot Semarang untuk membangun Kota Semarang yang lebih baik lagi.

9 dari Nadira


Judul Buku : 9 dari Nadira
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan : I, Oktober 2009
Tebal : xi + 270 Halaman

Petualangan Jiwa Dalam Nadira
Pucuk dicinta ulam tiba. Kerinduan akan sesuatu yang segar terobati. Satu lagi karya sastra yang berbeda aliran muncul ditengah membanjirnya buku-buku yang sekilas nampak seragam, baik alur cerita, penokohan, desain sampul, sudut pandang, dan sebagainya. Di penghujung tahun 2009, Leila S.Chudori membawakan 9 Dari Nadira dengan sangat apik ke tengah para penggemar sastra yang merindukan bacaan sastra berbeda. Kenapa saya sebut berbeda, karena pembaca sastra tengah bosan dibuai keseragaman tema seperti yang saya ungkapkan diatas. Leila mengemas sembilan cerita dengan bahasa yang sederhana tanpa perlu sibuk bermetafora.

Dengan sudut pandang yang cergas mampu membawa pembaca menjelajahi New York, Pedder Bay, Tanjung Pandang, dan kota-kota bahkan negara yang menjadi latar belakang cerita. Mampu menghadirkan cerita kehadapan pembaca dengan jelas, seakan kita berada ditengah konflik yang dilukiskan Leila dalam bukunya. Latar belakang leila sebagai jurnalis tentu banyak membantu pematangan konsep cerita menjadi suatu karya yang berkualitas dan diperhitungkan. Keahliannya bertutur mampu memperlancar alur penceritaan dari awal hingga akhir yang pada akhirnya melibatkan pembaca secara psikologis maupun emosional.

** Nadira adalah tokoh utama dalam kesembilan cerita yang ada dalam buku ini. Nadira merupakan putri ketiga dari pasangan Bramantyo Suwandi, jurnalis senior dan mantan bartender sewaktu kuliah di Belanda, dengan Kemala Yunus, putri dari pengusaha kaya raya yang sekuler. Kedua kakaknya, Nina dan Arya merupakan tokoh yang turut berperan meski bukan sentral. Turut hadir pula tokoh Gilang Sukma, koreografer tari flamboyan yang sudah tiga kali menikah namun selalu diakhiri dengan perpisahan, yang menggoda Nadira, namun menikahi Nina, sang kakak. Pernikahannya dengan Niko Yuliar, mantan aktivis 70’an yang juga harus diakhiri. Relasinya dengan Utara Bayu, atasannya di majalah Tera yang diam-diam menyimpan hasrat pada Nadira dan menyerah dalam diam serta Marc Gillard, sahabat semasa kuliah di Kanada.

Semula saya mengira ini novel biasa yang hadir tanpa gambar atau ilustrasi, hanya murni merangkum kata. Keistimewaan saya temukan saat menjelajah bab demi bab, hadirnya ilustrasi semakin menegaskan cerita selanjutnya. Memasuki cerita pertama, ”Mencari Seikat Seruni”, tersaji gambar wanita tertelungkup, mungkin pembaca sedikit kebingungan dengan maksud gambar tersebut. Namun kebingungan itu lunas saat bab pertama dituntaskan. ”Mencari Seikat Seruni” menceritakan tentang ”Sebuah pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan Ibunya tewas bunuh diri di lantai rumahnya. Kematian sang ibu, Kemala Yunus-yang dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bertarung mencari diri-sungguh mengejutkan.” Pembaca serasa disuguhi pagi yang murung juga kelabu. Dimana kematian tragis seorang ibu yang menjadi panutan ketiga anaknya begitu mengguncang dan masing-masing mencoba tegar. Kenapa diberi judul ”Mencari Seikat Seruni”? Karena Nadira mengingat kata-kata terakhir sang Ibu, ”Terakhir, yang paling penting-yang selalu disebut-sebut Ibu-aku pasti mengais-ngais bunga-bunga kesukaan Ibu yang sulit dicari di Indonesia: bunga seruni putih. Kenapa seruni? Dan kenapa harus putih?.” (Hal.3). Hal itu akan terjawab saat Nadira membaca buku harian sang Ibu saat menikah dengan sang Ayah.

Lazimnya romansa percintaan, Utara Bayu yang tak mampu menyatakan perasaan harus gigit jari saat Nadira menikah dengan Niko Yuliar, kemudian memilih menikah dengan wanita yang tidak dicintai. (Hal.231) Dan kisah teka-teki diakhiri pada ”At Pedder Bay”, setelah berpisah dari Niko Yuliar, Nadira menyadari perasaannya pada Utara Bayu. Pembacalah yang dapat memutuskan dalam imajinasi masing-masing akhir kisah Nadira.

Meski kesembilan cerita ini dibuat secara terpisah dengan rentang jeda yang cukup lama, pembaca tentu dapat melihat adanya keterkaitan antara masing-masing cerita. Seperti yang tertulis pada sampul belakang, ”Tewasnya Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anaka (”Melukis langit”); seorang wartawan (”Tasbih”); seorang kekasih (”Ciuman Terpanjang”); seorang istri, hingga akhirnya membawa Nadira kepada sebuah penjelajahan ke dunia yang baru, dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya (”Kirana”).

Kisah dalam 9 dari Nadira mampu membangun sebuah kehidupan imajinatif bagi pembacanya, meski Leila, dalam pengantarnya, menyebutkan bahwa ini merupakan sembilan cerita pendek dan tertulis pada halaman akhir bahwa masing-masing cerita itu ditulis secara terpisah, tidak runtut, dan dalam jeda yang cukup panjang. Namun tidak lantas cerita yang sudah dirangkum alurnya ini kehilangan ruhnya.

ps : kado milad ke 22 dari seorang kawan berbagi buku. Makasih ya, Bang.. :-)

Cinta, Citacita, dan Takdir



Judul Buku : Perahu Kertas
Penulis : Dee
Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal : xii + 444 Halaman

Karya Dewi Lestari atau karib dipanggil Dee lekat dengan bahasa yang rumit dengan alur cerita yang kompleks. Seperti Supernova, Filosofi Kopi, atau buku hybridnya, Rectoverso. Dee banyak menyisipkan kisah percintaan hampir di seluruh karyanya, cinta yang sederhana tapi tidak norak.

Perahu Kertas, adalah karya Dee yang paling anyar. Setelah didahului dengan versi digital, kini Dee mengemasnya menjadi buku konvensional. Tebal. Dengan kaver yang unik, menjadikan buku ini semakin menarik untuk ditelusuri. Pembaca tidak akan disuguhi dengan kerumitan. Dee menggunakan bahasa yang nge-pop dalam Perahu Kertas. Meski begitu, Dee mampu mengemas nilai-nilai filosofis tentang cinta, cita-cita, takdir, juga kehidupan dengan maksimal melalui tokoh-tokoh seperti Keenan dan Kugy, dua tokoh utama dalam novel ini.

Kugy Alisa Nugroho, namanya. Cukup dipanggil Kugy. Seorang remaja yang baru lulus SMA. Bertubuh mungil. Pengkhayal yang baik dan cukup berantakan. Melanjutkan pendidikannya di fakultas Sastra disalah satu universitas di Bandung. Dari benaknya, mengalir untaian dongeng yang indah. Sejak kecil bercita-cita menjadi penulis dongeng, namun setelah beranjak dewasa, menyadari bahwa menjadi penulis dongeng tidak bisa dijadikan sandaran. "Menjadi sesuatu yang bukan diri sendiri, hingga akhirnya menjadi diri yang asli, meski harus berputar-putar"

Keenan. Remaja Indo yang cerdas, artistik, dan penuh kejutan. Dari tangannya, lahir lukisan-lukisan magis. Terpaksa kuliah di jurusan manajemen, menyalahi takdirnya terhadap seni, karena ia harus mengikuti kehendak orangtuanya. Keberanian Keenan terlihat saat ia berontak terhadap peta yang telah ditetapkan orangtuanya : berhenti kuliah, dan menetap di Ubud, berprofesi sebagai pelukis dengan berguru kepada Pak Wayan, mantan kekasih Ibunya.

Sarat Adiktif
Pembaca akan menemukan renungan-renungan mendalam yang disuguhkan Dee dengan apik melalui tokoh-tokoh yang masih belia. Meski belia, tidak mengurangi kualitas pemahaman refleksivitas diri kita sebagai pembaca. Justru akan membawa kita untuk terus menuntaskan hingga lembar paling akhir novel ini.

Dua Kota Dua Cerita di Semarang

Aha, tempat ini rupanya berada disisi jalan sebelah barat parade plein Gereja Blenduk yang sering saya lewati. Semarang Contemporary Art Gallery, menarik perhatian saya dan beberapa teman untuk singgah sejenak dan menatap beberapa karya lukis maupun seni kontemporer yang dipamerkan hingga 10 Februari 2010 ini.

Sekilas Historis (dikutip dari pahatan sejarah SCAG pada lobi utama gedung ini)

Gedung tua yang berevolusi menjadi sebuah galery ini pertama kali dibangun pada tahun 1895 oleh Tuan Addler, seorang Belanda. Gaya bangunan sdikit terpengaruh gaya Spanish Colonial. Bangunan ini tidak mempunyai halaman dan posisinya tepat di tepi jalan raya Let. Jend. Soeprapto, yang merupakan jalan Anyer-Panarukan yang dibangun oleh Daendels pada tahun 1811. Da bangunan ini terletak disebelah barat parade plein Gereja Blenduk.

Perusahaan ”Winkel Maatschappij” H. Spiegel yang menempati bangunan ini adalah sebuah perusahaan yang berdagang berbagai macam barang keperluan rumah tangga dan keperluan kantor dengan model terbaru pada masanya. Beberapa barang yang disajikan antara lain tekstil dari kapas atau linen, mesin tik, furniture, keperluan olahraga, dan sebagainya. Tuan H. Spiegel adalah manajer perusahaan ini dan 5 tahun kemudian menjadi pemiliknya. Pada tahun 1905 perusahaan ini menjadi perseroan terbatas (PT). Pengusaha inlander terkemuka di Semarang, Tasripin, dicatat mengambil alih bangunan ini yang kemudian pernah disewakan dan dipakai sebagai gudang, dealer motor, dan perusahaan besar farmasi ”Tempo”. Pabrik limun ”Fresh” diketahui membeli bangunan ini dan digunakan sampai tahun 1990-an. Pada tahun 2008, Chris Darmawan melakukan konservasi dan digunakan sebagai Semarang Contemporary Art Gallery.

Ajang Perhelatan Seniman
Semenjak diambil alih dan dikonservasi pada tahun 2008, gedung ini menjadi lebih hidup dan lebih tertata. Dengan desain klasik minimalis, bangunan ini kini ditabalkan menjadi ajang kreativitas para seniman muda. Sejak (30/1) hingga (10/2) pekan ini, sedang dihelat pameran karya seniman Bandung, Jogjakarta, pun Jakarta dengan tajuk ”Dua Kota Dua Cerita”. Menampilkan beberapa karya kontemporer dari Tromarama (kelompok seniman asal Bandung yang memilih video sebagai medium utama dalam berkarya) berupa video ”Bandung Art Now” dan media lilin dengan tajuk ”Never Ending Resolutions”.

Kemudian juga ”Leichschlaf 01” karya Erik Pauhrizi. Seniman asal Bandung yang mengolah pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai diri dalam kaitannya dengan identitas mereka, baik dalam ranah seni maupun yang berkait dengan praktik hidup sehari-hari. Erik melihat diri dalam konteks issu multikultur mengkaji bagaimana individu-individu merepresentasikan diri dalam pertanyaan eksistensialis. Tertarik pada imaji hitam putih, yang menurut Erik merujuk pada masa lalu, menautkan memori, dan menggali intimitas. (Berdasarkan indeks karya Erik Pauhrizi yang terpampang di lantai 1 gedung ini.)