Ini Hidupku, Bagaimana Denganmu?


Hidup bisa berjalan tak sesuai dengan rencana semula. Saya mencanangkan tiga buah dan hanya satu yang teraih, dengan alur dan sketsa yang sama persis selalu saya riuh gemborkan setiap kali ada yang bertanya, "Apa rencanamu? Apa yang ingin kamu raih? Sekolah lagi, bekerja, atau menikah muda?"

Tak ada yang bisa membuat masterplan itu sempurna, karena terkadang ditengahnya akan banyak jalan yang berlubang, persis aspal yang digerogoti tetesan air hujan. Lebih sering, rasa syukur yang menutupinya hingga menjadi kepingan puzzle yang utuh.

Hidup saya tidak sama lagi, setelah Allah memberikan saya apa yang ternyata saya butuhkan. Allah memainkan plan A saya dan saya baru menyadarinya beberapa pekan setelah mimpi yang menjadi nyata itu berjalan.

Setelah lulus, saya amat berharap bisa bekerja ditempat yang sesuai dengan impian saya semenjak sekolah dasar, saya ingin menjadi seorang Jurnalis. Tapi apa mau dikata, Allah menyorongkan saya bulatan nasib yang justru selama ini saya hindari, menjadi seorang bankir. Karena keluarga besar saya mayoritas bergerak di bidang perbankan, saya ingin mencari jalan sendiri, alur yang berbeda, dan tentu impian saya. Allah mengamanahi saya bekerja di salah satu bank syariah terbesar di negeri ini.

Lantas, bagaimana dengan gairah saya yang besar terhadap aktivitas menulis?

Dengan bangga saya katakan. Gairah itu tidak akan pernah padam, meskipun intensitasnya akan berkurang. Menulis adalah hidup saya, dunia yang menemani saat tidak ingin bicara. Seperti kata, Khrisna Pabichara, "dengan menulis, saya bisa menumpahkan kecamuk perasaan, kecewa, amarah, sakit hati, dendam, rindu, sunyi, sepi, kehilangan, harapan, cinta. Dengan menulis sajak, saya merasa lebih sehat."

Ini hidupku, bagaimana denganmu?

Semarang, 17 Agustus 2010

Romantisme Ramadhan

Puasa di bulan Ramadhan acapkali membawa kejutan istimewa. Berwujud kekuatan kasat mata bagaimana mengasah naluri, menahan rasa diri, terus memberi yang terbaik, meski tak luput juga dari sisa-sisa gejolak yang terselip dicelahnya. Ramadhan, bagi saya, bukan dilihat dari menu sahur atau buka puasa, bukan pula murah atau mahalnya asesori hari raya. Ramadhan, menghadirkan ekspektasi tinggi pengalaman spiritual. Melahirkan romantisme juga kerinduan membuncah setelah lolos melewatinya.

Seperti ada gerimis, melihat mereka yang katanya proletar, ikhlas berpuasa ditengah teriknya hari. Berseduh keringat tanpa bisa menawar nasib. Sedangkan, yang katanya kaum cendekiawan, berkeliling penyejuk udara setiap harinya. Malah tertidur saat menunaikan ibadah bekerja, dengan berkelit dan melontar alasan, "Sedang berpuasa".

Ada perasaan tak biasa yang tak bisa saya jelaskan, bahkan dengan kata.

ps : Ramadhan 1431 H - 17 Agustus 2010