Sudah terlalu kebas untuk sekadar menangis. Dulu airmata saya sudah habis untuk itu. Jika boleh, ingin sekali saya menonjok muka wanita itu. Tidakkah dia sadar? Dia berpijak diluka hati wanita lain?
Saya tak menaruh dendam, karena ini serupa cerita fiksi pendek yang saya karang semalam. Hanya saja, saya tak kan pernah habis pikir. Berbahagia dengan pria atau wanita diatas luka hati seorang wanita dan juga anak-anaknya adalah keputusan bodoh dari seorang yang dikatakan dewasa.
Seorang kawan bercerita dengan tersedu tentang keluarganya. Ditengah segala tawa dan senyum yang saya katakan indah itu, ternyata dia dan juga ibundanya tengah memeram duka. Duka yang ikut saya rasakan juga. Kenyataan bahwa ibundanya hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan tambahan yang harus bergantung pada suami yang kini memutuskan membagi cintanya pada keluarga dengan wanita lain yang baru saja dikenalnya melalui email.
Kawan saya tak mampu membohongi suara hatinya, bahwa ada yang tak biasa dengan nada bicara dan bahasa tubuh ayahandanya itu. Kejadian ini bukan pertama kalinya, sehingga kawan saya seakan memiliki alarm yang cukup sensitif untuk merasakan perubahan itu.
Sebagai karib, saya hanya bisa diam. Karena dalam diam pun saya turut merasakan. Dan, tak pernah habis pikir dimanakah letak kesalahannya?.
Semarang, 15 Mei 2011