Kesadaran Berwawasan Lingkungan

Banjir dan rob menerjang kawasan Semarang dan sekitarnya, terutama kawasan pesisir, tentu bukan hal yang asing bagi kita. Sudah sedari jaman penjajahan Belanda usaha pengendalian terhadap banjir dan rob dilakukan. Mulai dari meninggikan badan jalan hingga pengerukan sungai. Namun berbilang tahun dan berganti pula tampuk kepemimpinan belum menjadikan adanya perubahan yang berarti terhadap kondisi mengenaskan tersebut.

Dituliskan oleh Moh.Anhar (dalam Suara Merdeka, 28 Desember 2009) bahwa, ”Banjir dan rob sepanjang tahun 2009 masih menjadi tema yang ”ngangkat” untuk dibicarakan dalam mengupas perkembangan Kota Semarang.” Memang Kota Semarang identik dengan kata banjir dan rob karena memang letaknya yang lebih rendah dari laut, sehingga derita akibat banjir dan rob menjadi makanan sehari-hari warga yang bermukim didaerah tersebut.

Penanggulangan sudah pernah dilakukan oleh Pemkot maupun lembaga yang peduli dengan kondisi ini. Untuk program pengendalian banjir, Pemkot sudah merealisasikan paket pembangunan Waduk Jatibarang, normalisasi Kaligarang-Banjirkanal Barat, normalisasi Kali Semarang-Kali Asin-Kali Baru yang menelan toal dana Rp 1,7 triliun. (dalam Suara Merdeka, 28 Januari 2010)

Pertanyaannya adalah sudah efektifkah dana sebesar itu menanggulangi bencana banjir juga rob di Kota Semarang? Mungkin tanpa perlu pemberitaan bombastis pun kita sudah dapat melihat keadaan dilapangan. Banjir bandang yang menerjang Kampung Tapak, Kelurahan tugurejo, Kecamatan Tugu, Rabu (27/1) lalu menjadi salah satu buktinya.

Akibatnya warga harus menanggung kerugian sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta lantaran budidaya tambaknya hanyut diterjang banjir. Belum lagi kerugian akibat rumah yang tak luput terendam air.Ditengarai banjir dadakan tersebut terjadi karena perubahan alur sungai akibat pendirian sebuah perusahaan. Dan hal tersebut menjadi satu dari sekian penyebab banjir dan rob.

Menggeliatnya iklim industri dan perekonomian mau tak mau memaksa berubahnya tatanan kota maupun desa. Modernisasi merangsek hingga ke pelosok. Menjamurnya pabrik di wilayah suburban menjadi hal jamak. Namun seringkali modernisasi tak dibarengi dengan pembangunan berwawasan lingkungan.

Proses pembangunan berwawasan lingkungan ini, harus pula mempertimbangkan kemungkinan kerusakan yang terjadi. Selanjutnya, mesti ditimbang dan dinilai pula, akan manfaat dan untung ruginya sebelum kemudian diputuskan dengan penuh tanggung jawab, kepada generasi mendatang. (http://www.kesemat.blogspot.com/)

Yang tidak kalah krusial adalah kesadaran masing-masing individu akan pentingnya lingkungan. Seringkali budaya yang mengakar pada kita kebanyakan adalah sungai itu tempat sampah raksasa. Tidak hanya sungai, got maupun gorong-gorong di Kota Semarang bisa dilihat penuh dengan sampah. Bila hujan turun, beberapa ruas jalan akan tergenang air. Sungguh tidak sedap dipandang!.

Serupa dengan banjir, rob yang menjadi bagian kehidupan masyarakat Semarang pesisir adalah akibat dari keserakahan tangan manusia sendiri. Pada tahun 90-an misalnya, di daerah Tugu, banyak terjadi pereklamasian lahan mangrove sebagai area pertambakan. Setelah tambak tidak produktif, lahannya kemudian ditinggalkan. Dan hasilnya bisa kita lihat satu dekade kemudian. Abrasi terjadi di kawasan pesisir utara Semarang. Rob pun menerjang dan mulai terasa dampak akibat peningkatan suhu.

Kondisi tersebut diperparah dengan pembangunan pabrik, restoran yang ingin menampilkan eksotisme pantai, namun harus mengorbankan alam ditambah dengan rendahnya kesadaran peduli lingkungan dari masyarakat itu sendiri. Lahan mangrove produktif ditebangi. Mangrove dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tanin dan pewarna.

Melihat kondisi seperti ini, beberapa institusi mencoba menggalakkan kesadaran akan pentingnya ekosistem mangrove. Penanaman ribuan bibit mangrove pun telah dilakukan berkali-kali.

Namun yang seringkali terjadi adalah bibit itu mati karena tidak adanya sinkronisasi pemahaman antar institusi dan ketidakpahaman masyarakat sekitar pesisir akan daya guna ekosistem mangrove. Membuang urugan sungai ke atas bibit-bibit mangrove, reklamasi pesisir sebagai lahan usaha, penebangan magrove telah menjadikan usaha rehabilitasi lingkungan menjadi sia-sia belaka.

Rob dan abrasi tidak hanya berdampak pada lingkungan hidup, namun juga pada sisi kesehatan masyarakat, hilangnya mata pencaharian warga sekitar, kerugian materiil, terganggunya sistem pendidikan, bertambahnya anggaran Pemkot untuk upaya penaggulangan bencana, dan sebagainya.

Maka alangkah arifnya bila Pemkot tidak hanya sekedar menggelontorkan uang namun lepas tangan pada langkah dasarnya. Perlu adanya regulasi dan tatanan yang jelas tentang pembangunan berwawasan lingkungan serta mendayagunakan masyarakat di daerah rawan banjir maupun rob.

Proses terpenting dalam pemberdayaan masyarakat adalah membangun pondasi sosial. Meningkatnya kemampuan masyarakat sebagai pelaku pengelolaan lingkungan dan peningkatan partisipasi masyarakat adalah salah satu hal yang sekiranya perlu dilirik oleh Pemkot Semarang untuk membangun Kota Semarang yang lebih baik lagi.

0 komentar: