Perilaku Manusia dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan

(Sumber : National Geographic Indonesia Edisi Khusus Detak Bumi dan Green Living Guide)


Barangkali tidak adil jika saya menempatkan manusia dengan segala kesempurnaannya sebagai pelaku utama rusaknya lingkungan disekitar kita. Namun, karena kesempurnaan yang dimilikinya manusia melakukan apa saja untuk memuaskan hasrat mereka tanpa mengindahkan kerugian pada pihak kedua, ketiga, dan seterusnya. Mereka melupakan bahwa ada siklus yang berputar dan saling bergantung satu sama lain.

Manusia mengubah wajah bumi melebihi spesies manapun dalam sejarah dunia, dan laju tersebut semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia, perkembangan teknologi, kebutuhan pangan yang melonjak tinggi, serta penggunaan moda transportasi yang berkembang pesat. Dan sayangnya, dibalik itu semua, terkadang kita melupakan bahwa ada makhluk-makhluk lain yang terabaikan.

Ekspansi dan Keserakahan
Keberadaan jalan raya, jalan bebas hambatan, jalan layang, jalur kereta api memang membantu menyebarkan pengaruh manusia lebih jauh, memperluas jangkauan manusia, dan memudahkan perniagaan serta mempersingkat perjalanan. Namun timbal baliknya adalah mendorong perambahan disekitar kota, membawa perburuan, pembalakan, dan pertanian ke hutan yang semula tidak terjangkau tangan manusia. Infrakstruktur yang berkembang pesat itu bisa pula menghancurkan habitat, meningkatkan polusi, dan mempercepat ekspansi perkotaan ke daerah pedesaan.

Hutan dibuka menjadi lahan pertanian, dengan hampir 35% lahan di bumi yang bebas es sudah dikuasai untuk lahan tanaman pangan dan padang rumput, sebagian lahan pertanian yang baru itu didapatkan manusia dengan jalan membuka hutan. Membuka hutan berarti merampas hak hidup ekosistem didalamnya. Jutaan hektar lahan gambut di Indonesia hancur setiap tahunnya akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. ”Setiap tahunnya populasi orang utan menurun dengan cepat karena menjadi korban secara langsung dari kebakaran hutan, menjadi target perburuan, atau karena hutan sebagai habitat mereka telah rusak akibat keserakahan manusia.” (Newsletter GREENPEACE Edisi 3 Tahun 2008.)

Kerusakan hutan akibat terus-menerus dikonversi untuk perluasan lahan kelapa sawit di beberapa titik hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua telah mendorong terjadinya perubahan iklim dan menggiring keberadaan habitat orang utan dan satwa lainnya menuju kepunahan. Tidak hanya perampasan hak hidup orang utan, namun juga masyarakat yang berdiam dan menggantungkan hidupnya pada hutan, seperti suku Anak Dalam di Jambi. Karena kapitalisme telah menunjukkan wataknya, secara agresif hutan-hutan di Indonesia berubah dengan cepat dikuasai oleh swasta, termasuk para pemilik perkebunan kelapa sawit.

Hutan yang direnggut dengan cara dibakar jelas berdampak besar pada kualitas udara yang manusia hirup. Asap dan gas rumah kaca dari hutan-hutan yang terbakar bergabung dengan asap kendaraan, polusi pabrik, dan pembangkit listrik telah mengubah atmosfer kita, mengacaukan sistem musim yang ada, serta membunuh jutaan manusia akibat berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan akibat efek polusi.

Keberadaan Sampah Plastik
Kantong plastik masih menjadi pilihan utama sebagian besar dari manusia untuk mengemas belanjaan. Padahal kantong plastik yang berbahan dasar minyak bumi tidak bisa terurai oleh alam dan berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan satwa liar.

Kantong plastik murah dengan berbagai warna memang punya banyak manfaat dan keberadaannya pun berlimpah. Sekitar 500 miliar sampai 1 triliun kantong plastik dipakai diseluruh dunia setiap tahunnya. Namun, sebagian besar hanya sekali pakai dan kemudian dibuang ke berbagai tempat, seperti tempat sampah, sungai, laut, dipendam dalam tanah, bahkan dibakar. Jutaan plastik yang dibuang ke laut menyumbat lingkungan dan membunuh satwa seperti penyu dan anjing laut!!. Plastik yang dibuang ke sungai menjadi salah satu penyebab utama banjir yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, contoh kota Jakarta. Plastik menyumbat saluran sungai, gorong-gorong got hingga air hujan meluap ke jalanan. Plastik yang dibakar menghasilkan zat kimia yang berbahaya bila terhirup oleh manusia.

Walaupun plastik bisa didaur ulang, namun tidak seluruh kantong plastik bisa diolah kembali dipabrik. Kantong plastik bekas yang hanyut di sungai atau laut kerap membahayakan hewan serta tidak terurai dengan baik di alam. Kurangi penggunaannya dengan memakai kantong plastik berulang kali. Cara yang paling tepat ialah mengganti kantong plastik dengan kantong kain saat berbelanja. (NGI, Edisi Green Living Guide)

2 komentar:

maslie 29 Desember 2009 pukul 17.55  

saya orang west borneo yang setiap tahun sudah langganan asap akibat lahan2 di babat dengan cara di bakar

Nida Fauzi 30 Desember 2009 pukul 17.04  

sayangnya berita macam itu kurang diangkat dan di-follow up. Rasanya juga sudah jamak orang kita kurang peduli tentang itu..

terus seperti apa masyarakat Kalbar sendiri? apa ada tindak lanjutnya, kak?