Hari sudah mulai gelap, tapi mengapa dia duduk disana? Dibawah rimbun pepohonan, sedangkan terlihat langit akan hujan..
Dia tampaknya tak punya rumah atau sanak saudara.
Buktinya dia membawa kantung yang besar, sarat akan barang.
Hari semakin gelap. Tak surut niatnya walau rintikan air tajam menghujam kulit, perih sesaat hingga meninggalkan ruam merah. Masih saja dia terduduk, tergugu di bawah rindangnya pepohonan. Namun kini sudah berbalut mantel berwarna biru.
Ya, dia hanya seorang diri. Ditemani bungkusan dan beberapa kantung plastik kumuh.
Kepalanya kini tertunduk, bukan karena malu dengan tatapan pengendara yang lalu lalang. Tapi menghindari belas kasihan, air matanya tampak menggenang. Karena seharusnya dia ada dirumah. Yang akan hangat saat hujan tiba, duduk bersama istri atau keluarga. Karena pernikahannya dengan istri mataharinya tak jua dikaruniai keturunan. Hingga sang istri mataharinya berpulang, dia kehilangan arah. Tak ada lagi tempat berpulang setelah seharian berpeluh ditengah onggokan sampah Jatibarang. Yang akan menerima berapapun rupiah hari itu. Yang berusaha tersenyum cerah menghangatkan saat hari itu tak ada rupiah dihasilkan. Yang setia menemani ditengah gubug reyot, dindingnya bertambalkan plastik terpal..sama sekali tak ada keluhan terdengar.
Hujan semakin menderas, dia tak bergeming, walau hanya berkawan mantel biru.
** Sama persis dengan kakek tua yang kulihat kemarin sore usai pulang KP di jalan Teuku Umar, Semarang
Dia tampaknya tak punya rumah atau sanak saudara.
Buktinya dia membawa kantung yang besar, sarat akan barang.
Hari semakin gelap. Tak surut niatnya walau rintikan air tajam menghujam kulit, perih sesaat hingga meninggalkan ruam merah. Masih saja dia terduduk, tergugu di bawah rindangnya pepohonan. Namun kini sudah berbalut mantel berwarna biru.
Ya, dia hanya seorang diri. Ditemani bungkusan dan beberapa kantung plastik kumuh.
Kepalanya kini tertunduk, bukan karena malu dengan tatapan pengendara yang lalu lalang. Tapi menghindari belas kasihan, air matanya tampak menggenang. Karena seharusnya dia ada dirumah. Yang akan hangat saat hujan tiba, duduk bersama istri atau keluarga. Karena pernikahannya dengan istri mataharinya tak jua dikaruniai keturunan. Hingga sang istri mataharinya berpulang, dia kehilangan arah. Tak ada lagi tempat berpulang setelah seharian berpeluh ditengah onggokan sampah Jatibarang. Yang akan menerima berapapun rupiah hari itu. Yang berusaha tersenyum cerah menghangatkan saat hari itu tak ada rupiah dihasilkan. Yang setia menemani ditengah gubug reyot, dindingnya bertambalkan plastik terpal..sama sekali tak ada keluhan terdengar.
Hujan semakin menderas, dia tak bergeming, walau hanya berkawan mantel biru.
** Sama persis dengan kakek tua yang kulihat kemarin sore usai pulang KP di jalan Teuku Umar, Semarang
0 komentar:
Posting Komentar