Suku Dani di Papua memang unik. Hal ini yang menjadi catatan harian reporter koran harian Jawa Pos selama dua hari berkunjung ke Wamena dan Timika. Udah 4 hari ini Jawa Pos memuat kisahnya. Awalnya saya kurang aware terhadap tulisan ini. Tapi saya pikir saya rugi kalau berita itu tidak saya baca.
Papua pernah dijuluki sebagai museum hidup oleh para antropolog. Sebelum tahun 1970-an, pemerintah membebaskan para peneliti yang ingin meneliti Papua, tapi setelah itu sempat beberapa kali dilarang karena ada anak orang terkaya di dunia hilang disana dan juga kasus Antropolog asal Amerika Serikat yang melakukan penelitian, hingga demi keakuratan penelitiannya itu dia sampai menikah dengan Obahorok, ketua Suku Dani waktu itu. Padahal kepala suku disana lazim menikah dengan beberapa wanita sekaligus atau biasa disebut Poligini. Keluar sedikit dari pembahasan, kita tahu bahwa masyarakat sudah terbiasa menyebut pria beristri lebih dari satu dengan ungkapan Poligami, sejatinya Poligami adalah menikah dengan lebih dari satu pasangan. Sebutan bagi pria yang menikahi lebih dari satu wanita adalah Poligini. Masih ada lanjutannya. Poligini Sororat adalah pria yang menikahi beberapa wanita yang kesemuanya adalah saudara ( pertalian darah ). Sedangkan Poligini Non-Sororat adalah pria yang menikahi beberapa wanita yang tidak ada hubungan pertalian darah. Berbeda dengan poliandri, ini adalah sebutan bagi wanita yang menikah dengan beberapa pria.
Kembali ke bahasan Obahorok, Si kepala suku Dani. Pesta pernikahan mereka ( Obahorok dengan sang Antropolog ) dipestakan selama 10 hari 10 malam, dan menyembelih banyak sekali babi untuk hidangan pesta mereka. Tidak dapat dipastikan bahwa pasangan beda ras tersebut melangsungkan malam pertama mereka dimana, yang pasti sang Antropolog melebur bersama istri – istri Obahorok lainnya, seperti pergi ke ladang dan bertelanjang dada juga memakai honai. Namun, umur perkawinan mereka tak berlangsung lama, karena 2 bulan kemudian sang antropolog menghilang, yang kabarnya diketahui kembali lagi ke negaranya. Dan pada tahun 1974, dia merilis bukunya yang berjudul ”People of The Valley”. Sejak itu dia tidak memperoleh ijin untuk memasuki wilayah Indonesia dan kabar Obahorok pun menghilang begitu saja.
Mata pelajaran Antropologi dan Sosiologi yang saya dapat saat duduk di bangku SMA sangat membantu saya dalam ketertarikan terhadap bahasan masalah budaya Indonesia. Guru Antropologi saya, Pak Azhari sering menceritakan hal – hal yang bagi saya waktu itu terdengar amat unik dan amazing. Walaupun bahasannya masih dangkal namun membantu itu cukup membantu untuk pemahaman dasar hal – ihwal budaya nasional.
Seperti ini misalnya : Kenapa bahasa daerah Sumatra ( Batak dan Dayak atau Borneo ) amat berbeda dengan bahasa suku – suku di Jawa?
Beliau menceritakan dengan sub-bahasan, Linguistik.
Kenapa bisa begitu? Jadi nenek moyang yang kini ada di Borneo dan Batak itu termasuk Proto Melayu atau Melayu Tua, sedangkan nenek moyang yang ada di Jawa termasuk Deutro Melayu. Rentang masuk antara Proto dan Deutro bisa dikatakan cukup jauh, sehingga bahasa yang tercipta pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Senang juga rasanya mengamati persamaan dan perbedaan bahasa suku – suku di Indonesia.
• Sumber Inspirasi : Harian Jawa Pos, 10 Februari – 13 Februari 2009.
• Mata Pelajaran Sosiologi dan Antropologi tahun 2005 – 2006.