Jendela Cinta (GIP,2005)
Yang Terhormat Aceh,
Setelah udara mesiu memburu paru-paru
Sehabis peluru menelikung rongga dada
Kini cuaca ikut bicara
Sempurnalah segala ujian
Yang menjelma malapetaka
Acehku dimana rencongmu?
Acehku jangan menangis
(Firman Venayaksa. Penulis, Penyair, & Pemusik)
Yang Terhormat Aceh,
Setelah udara mesiu memburu paru-paru
Sehabis peluru menelikung rongga dada
Kini cuaca ikut bicara
Sempurnalah segala ujian
Yang menjelma malapetaka
Acehku dimana rencongmu?
Acehku jangan menangis
(Firman Venayaksa. Penulis, Penyair, & Pemusik)
Dalam sebuah kesempatan, saya singgah ke pameran buku di Gedung Wanita, Selasa (2/3) kemarin. Walaupun sudah menahan diri,tangan saya berasa gatal kalau datang ke pameran buku tapi tidak membawa pulang hasilnya. Di salah satu stan Gema Insani Press, saya menemukan buku keluaran Forum Lingkar Pena (FLP). Sudah seperti jaminan umum, bahwa buku-buku keluaran FLP selalu membawa spirit positif bagi pembacanya. Makanya saya tidak ragu membeli Jendela Cinta (GIP, 2005) dan Ketika Cinta Menemukanmu (GIP, 2005)
Jendela Cinta. Buku keroyokan 15 penulis ini didedikasikan bagi korban tsunami Aceh 2004 silam. Seluruh honor yang diterima oleh penulis disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Kendati untuk Aceh, buku ini tidak melulu menyajikan cerita yang kelabu. Sebagian besar cerita pendek dalam buku ini pernah dimuat di beberapa majalah atau buku lain. Seperti “DIA” karya Asma Nadia, saya pernah membaca sebelumnya, tetapi entah dimana, pun, “TUMIS DAN SAYUR ASEM” karya Sakti Wibowo.
Jalinan ceritanya memang sederhana, seperti cerita sebelumnya yang ditawarkan oleh penulis keluaran FLP lainnya. Tapi ada yang jauh lebih besar dibanding mementingkan kompleksitas alur cerita. Tulisan mereka seperti mempunyai ruh. Bukan ruh yang hampa. Semacam ajakan yang kuat untuk senantiasa terus menata diri menjadi lebih baik. Mengandung kekuatan moral yang tinggi dan didasarkan pada kejadian sehari-hari.
Jendela Cinta. Buku keroyokan 15 penulis ini didedikasikan bagi korban tsunami Aceh 2004 silam. Seluruh honor yang diterima oleh penulis disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Kendati untuk Aceh, buku ini tidak melulu menyajikan cerita yang kelabu. Sebagian besar cerita pendek dalam buku ini pernah dimuat di beberapa majalah atau buku lain. Seperti “DIA” karya Asma Nadia, saya pernah membaca sebelumnya, tetapi entah dimana, pun, “TUMIS DAN SAYUR ASEM” karya Sakti Wibowo.
Jalinan ceritanya memang sederhana, seperti cerita sebelumnya yang ditawarkan oleh penulis keluaran FLP lainnya. Tapi ada yang jauh lebih besar dibanding mementingkan kompleksitas alur cerita. Tulisan mereka seperti mempunyai ruh. Bukan ruh yang hampa. Semacam ajakan yang kuat untuk senantiasa terus menata diri menjadi lebih baik. Mengandung kekuatan moral yang tinggi dan didasarkan pada kejadian sehari-hari.
6 komentar:
koment dulu baru baca hehehe
slam jarang baca buku, tapi yg ini puisinya bagus walo gak kenal ma orangnya
bukunya juga bagus lho, mas Slam :-)
belum bisa jadi penikmat puisi :)
layak untuk dikoleksi
ning gramed ono rak yo..
Tulisan Fahri Asiza keren.. :)
@didut: masih menjdai penikmat makanan ya? :D
*mas Didut : mau pinjem, mas? ada beberapa og..hehe
*mas lowo : wis ndak ada, mas. Edisi jadul soalnya..
*mas afiq : kuliner emang lebih enak soalnya *setujuuu..^ ^ *
Posting Komentar