Dua Kota Dua Cerita di Semarang

Aha, tempat ini rupanya berada disisi jalan sebelah barat parade plein Gereja Blenduk yang sering saya lewati. Semarang Contemporary Art Gallery, menarik perhatian saya dan beberapa teman untuk singgah sejenak dan menatap beberapa karya lukis maupun seni kontemporer yang dipamerkan hingga 10 Februari 2010 ini.

Sekilas Historis (dikutip dari pahatan sejarah SCAG pada lobi utama gedung ini)

Gedung tua yang berevolusi menjadi sebuah galery ini pertama kali dibangun pada tahun 1895 oleh Tuan Addler, seorang Belanda. Gaya bangunan sdikit terpengaruh gaya Spanish Colonial. Bangunan ini tidak mempunyai halaman dan posisinya tepat di tepi jalan raya Let. Jend. Soeprapto, yang merupakan jalan Anyer-Panarukan yang dibangun oleh Daendels pada tahun 1811. Da bangunan ini terletak disebelah barat parade plein Gereja Blenduk.

Perusahaan ”Winkel Maatschappij” H. Spiegel yang menempati bangunan ini adalah sebuah perusahaan yang berdagang berbagai macam barang keperluan rumah tangga dan keperluan kantor dengan model terbaru pada masanya. Beberapa barang yang disajikan antara lain tekstil dari kapas atau linen, mesin tik, furniture, keperluan olahraga, dan sebagainya. Tuan H. Spiegel adalah manajer perusahaan ini dan 5 tahun kemudian menjadi pemiliknya. Pada tahun 1905 perusahaan ini menjadi perseroan terbatas (PT). Pengusaha inlander terkemuka di Semarang, Tasripin, dicatat mengambil alih bangunan ini yang kemudian pernah disewakan dan dipakai sebagai gudang, dealer motor, dan perusahaan besar farmasi ”Tempo”. Pabrik limun ”Fresh” diketahui membeli bangunan ini dan digunakan sampai tahun 1990-an. Pada tahun 2008, Chris Darmawan melakukan konservasi dan digunakan sebagai Semarang Contemporary Art Gallery.

Ajang Perhelatan Seniman
Semenjak diambil alih dan dikonservasi pada tahun 2008, gedung ini menjadi lebih hidup dan lebih tertata. Dengan desain klasik minimalis, bangunan ini kini ditabalkan menjadi ajang kreativitas para seniman muda. Sejak (30/1) hingga (10/2) pekan ini, sedang dihelat pameran karya seniman Bandung, Jogjakarta, pun Jakarta dengan tajuk ”Dua Kota Dua Cerita”. Menampilkan beberapa karya kontemporer dari Tromarama (kelompok seniman asal Bandung yang memilih video sebagai medium utama dalam berkarya) berupa video ”Bandung Art Now” dan media lilin dengan tajuk ”Never Ending Resolutions”.

Kemudian juga ”Leichschlaf 01” karya Erik Pauhrizi. Seniman asal Bandung yang mengolah pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai diri dalam kaitannya dengan identitas mereka, baik dalam ranah seni maupun yang berkait dengan praktik hidup sehari-hari. Erik melihat diri dalam konteks issu multikultur mengkaji bagaimana individu-individu merepresentasikan diri dalam pertanyaan eksistensialis. Tertarik pada imaji hitam putih, yang menurut Erik merujuk pada masa lalu, menautkan memori, dan menggali intimitas. (Berdasarkan indeks karya Erik Pauhrizi yang terpampang di lantai 1 gedung ini.)

2 komentar:

dholman472 28 Januari 2011 pukul 20.55  

I found your post quite interesting as H. Spiegel was my great-grandfather. I have been searching for information about his life in Semarang and your information about his business was very helpful. I gather the building is now used as a gallery, is that correct?
Deborah Holman
CT-USA

Anonim 27 Juli 2013 pukul 05.48  

Hi Deborah,
I'm Chris Dharmawan,owner ofSemarang Contemporary Art Gallery.I'm very glad to know that H.Spiegel was your great-grandfather. The building is now as a contemporary art gallery. If you want to know about my gallery,please see
my website www.galerisemarang.com.

Regards
Chris Dharmawan